Kamis, 10 Januari 2019

HAI (narasi)


Aku sedang berdiri diam didepan pintu keberangkatan bandara dengan tas ransel di pundakku dan koper disamping kakiku. Sudah sepuluh menit aku menunggu disini. Orang yang kutunggu belum juga terlihat. Siapa yang ku tunggu? Bukan siapa-siapa. Hanya adik semata wayangku. Hari ini kita akan pulang bersama ke kampung halaman. Kita kuliah di kampus yang berbeda namun masih di satu wilayah. Pandangan mencariku terhenti ketika aku terkejut dengan tepukan keras yang aku rasakan di pundakku. Ah, dia ternyata orang yang aku cari. Dia datang dari arah yang berbeda dari pandanganku.

“Ehh, lama banget sih. Jalan kaki ya lo kesini?” kataku pada adik dengan wajah tertawa sebal karena menunggu nya. “Sorry dong kak, agak macet tadi di pintu masuk bandara.” ia membalas. Masih berlanjut, “Ohiya, kenalin ini temen gue, Juna. Dia pulang bareng sama kita juga hari ini. Ini yang gue bilang se-kampung sama kita itu.” aku mengalihkan pandangan ke teman-nya itu dan dalam sesaat memori-ku berputar. Wajahnya, tidak asing. Aku kenal wajah siapa ini. Tapi bukan ini orangnya. Tanpa berlama-lama dengan tatapan mengingat-ku, aku langsung sambut jabat tangannya. “Hai,” kataku sambil tersenyum. Dia pun membalas, “Hai” lengkap dengan senyum tipisnya yang semakin membuat memori-ku berputar.

Wajah ini sudah lama kurindukan sejak kepergiannya 3 tahun yang lalu. Sejak saat aku harus pergi merantau dan meninggalkannya tanpa menyadari bahwa itu adalah pertemuan terakhir ku dengan dia. Aku mendapat kabar dia sudah menghadap sang ilahi setelah 6 bulan aku dirantau. Hari ini, aku merasa aku melihat dia lagi.